PERGULATAN bangsa Indonesia mengatasi
wabah kemelaratan dan keterbelakangan tidak pernah selesai sejak terbentuknya
negeri ini. Walaupun melahirkan
dendam dan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial, kemerdekaan bukan berarti
tamatnya kemelaratan.
GAUNG
penderitaan yang dihadapi rakyat Indonesia terdengar hingga ke Washington.
Menjelang pertengahan tahun 1950-an, bekerja sama dengan beberapa universitas,
sejumlah sarjana dan mahasiswa dikirim secara bergelombang ke Indonesia. Mereka melakukan riset, perbandingan, dan
studi mendalam mengenai sebab-sebab terjadinya stagnasi ekonomi di pedesaan.
Desa menjadi fokus perhatian karena mayoritas rakyat
Indonesia hidup di sana. Buku Clifford Geertz, yang sudah diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia, "Involusi Pertanian di P Jawa,’’ adalah bagian dari
hasil riset tersebut. Geertz menguraikan kemiskinan kolektif beranak pinak
berbarengan dengan merosotnya produktivitas dan fragmentasi lahan pertanian.
Walaupun banyak dikritik, buku tersebut tetap menjadi
acuan studi Indonesia hingga tahun 1980. Bahkan meyakinkan Bank Dunia mendanai
program transmigrasi secara besar-besaran selama 32 tahun periode Orde Baru.
Pemerintah Indonesia sendiri telah mencangkok beragam
model pembangunan untuk mengatasi apa yang disebut kemelaratan kolektif itu.
Mulai dari model berdikari, sosialisme, kapitalisme primitif, hingga yang
berorientasi pasar terbuka, koperasi, gotong royong, dan lain sebagainya.
Hasilnya jauh dari harapan akan tamatnya kemelaratan.
Sebaliknya, dari tahun ke tahun masalah yang dihadapi justru makin runyam dan
kompleks. Sebab, yang terjadi hanyalah pergantian kacamata melihat peristiwa
yang sama.
"Kacamata baru’’ itu sendiri membutuhkan perencanaan
dan perangkat organisasi baru, dengan konsekuensi lahirnya masalah baru. Entah
itu dalam proyek transmigrasi, inpres padat karya, inpres desa tertinggal,
koperasi unit desa, jaring pengaman sosial, beras bagi warga miskin, jatah
hidup, dan seterusnya.
Apa yang terjadi kemudian, mirip cerita horor. Satu per
satu lembaga yang dibangun bertumbangan setelah darahnya kering diisap.
Termasuk koperasi tahu tempe yang dimaksud memperbaiki ekonomi pengusaha kecil
di berbagai kota.
Ironisnya, tidak sedikit pula institusi bentukan
pemerintah berubah menjadi parasit. Alat efektif kapitalis-birokrat dan
kroninya di Jakarta untuk menguras desa. Dalam hal ini perangkat maupun elite
desa mengawasi pelaksanaan berbagai monopoli komoditas perdagangan dan pungutan
(fee), yang kemudian disetor melalui rekening masing-masing instansi.
LEBIH setengah abad silam, Sutan Takdir Alisjahbana (STA)
menulis dalam majalah Siasat (18/6-1950), "pemerintah tidak akan mampu
memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan perumahan bagi 70 juta rakyat
Indonesia’’.
STA tidak sempat melihat, ketidakmampuan itu justru berkesinambungan
hingga saat ini. Bahkan, saat mulai terjadi kelaparan di beberapa kecamatan di
Nusa Tenggara Timur, banyak pemimpin maupun elite partai politik mengabaikan
fakta-fakta kemelaratan dan menganggapnya sebagai peristiwa yang baru terjadi
kemarin. Mereka memakluminya sebagai hal wajar di negara baru merdeka. Sikap
demikian melahirkan kompromi dalam bentuk budaya maling.
Pada Simposium Sastera Indonesia I di Belanda, Juli 1953,
Sutan Takdir melontarkan kritik lebih keras. Ia mengemukakan, revolusi telah
menyebabkan manusia modern Indonesia menginsafi bahwa kemerdekaan yang telah
diperjuangkan dengan bersemangat itu pada hakikatnya telah membuatnya lebih
melarat karena kehilangan segala-galanya.
Peristiwa revolusi sosial di Sumatera Timur dan Aceh
hanyalah salah satu contoh. Segala yang berbau kolonial adalah musuh dan layak
dimusnahkan. Namun, penggantinya tidak disiapkan. Alhasil, terjadi kemunduran
di semua sektor, diikuti munculnya "raja-raja perang’’ dengan wilayah
masing-masing. Sejak itu senjata menjadi dominan dalam menentukan arah politik
di Indonesia.
Lantas apa yang dapat dipetik dari semua
itu?
TAHUN 1970-an posisi Indonesia belum begitu buruk
dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Bahkan, dibanding dengan Korsel,
kemampuan industri otomotif Indonesia lebih kurang sama. Dua dekade kemudian,
Korsel sudah memproduksi mobil sendiri dan mengekspornya. Sementara Indonesia
tetap sebagai perakit dan importir.
Lebih ironis lagi dibandingkan dengan Malaysia. Tahun
1970-an negara jiran ini mendatangkan tenaga dokter, guru, montir, dan ahli
pertanian dari Indonesia. Ribuan mahasiswa Malaysia belajar di Indonesia atas
biaya pemerintahnya.
Sejarah berputar dua dekade kemudian. Ribuan mahasiswa
Indonesia belajar di Malaysia. Kualitas dokter dan teknologinya mendorong
banyak warga Indonesia memilih berobat di Malaysia ketimbang di negeri sendiri.
Jika diukur dari pendapatan per kapita, saat ini Malaysia mencapai 4.000 dollar
AS, sedangkan Indonesia masih berkisar 725 dollar AS.
Jika fungsi pemerintah memberi rasa
aman kepada rakyatnya, Pemerintah Indonesia nyaris gagal melaksanakannya. Indonesia masih terbenam dalam konflik
horizontal dan vertikal. Tidak ada jaminan keamanan seseorang di Aceh, Maluku,
dan Poso. Kepastian hukum masih berupa harapan. Berbeda dengan Malaysia, yang
saat ini disibukkan rencana menyongsong tahun 2020.
Dari sisi kemampuan pemerintahnya menyejahterakan rakyat,
Malaysia hampir menuntaskannya dalam waktu dua setengah dekade. Tahun 1970,
misalnya, jumlah penduduk melarat mencapai 74 persen, sementara Indonesia
sekitar 70 persen. Tahun 1994 jumlahnya tinggal 6 persen, sedangkan Indonesia
berkisar 30 persen.
Kemajuan ekonomi rakyat Malaysia lebih
nyata lagi diukur dari porsi ekonomi yang dikuasai warga Melayu, yang tadinya
merupakan lapisan termiskin. Melonjak dari 1,5 persen tahun 1970 menjadi 23 persen
tahun 2003. Sedangkan equity korporasi meningkat dari 2,5 persen tahun 1970
menjadi 30 persen tahun 1990. Sekarang diperkirakan mendekati 40 persen.
Sementara keadaan di Indonesia sendiri tidak banyak
berubah, termasuk dalam pendapatan per kapita. Lebih dari 36 juta tenaga kerja
dilaporkan menganggur. Sekitar 30 persen penduduk dikategorikan melarat.
Banyak kalangan yang buta terhadap fakta ini, dengan
dalih penduduk Malaysia hanya 25,5 juta jiwa. Mereka lupa tidak ada hubungan
kemelaratan dengan jumlah penduduk. AS dengan wilayah dan penduduk yang lebih
besar dari Indonesia, misalnya, pendapatan per kapitanya lebih 30 kali Indonesia.
Penduduk RRC sekitar 1,3 miliar, namun tidak menyebabkan rakyat melarat dan
pemerintah mengemis utang luar negeri.
Berkaca dari semua itu, kita tidak tahu
apakah ini yang disebut sebagai pemerintah atau negara yang gagal, mengingat
perjalanannya lebih setengah abad. (Maruli Tobing)
Berkutat dalam Jerat Kemiskinan
Kemiskinan tampaknya sudah menjadi persoalan klasik yang
terus-menerus dihadapi bangsa ini. Semenjak bangsa ini mengukuhkan
kemerdekaannya hingga berkali-kali terjadinya pergantian kepala negara,
persoalan kemiskinan tetap menjadi masalah yang tidak juga terselesaikan.
Berbagai peristiwa membuktikan hal ini. Munculnya wilayah
rawan pangan, beragam peristiwa kelaparan di berbagai daerah, semakin
membeludaknya para pencari kerja, hingga keluhan-keluhan merosotnya daya beli
mereka dalam menghadapi kenaikan harga barang kebutuhan tampaknya sudah menjadi
keseharian hidup masyarakat yang kian menempatkan mereka dalam lilitan
jerat-jerat kemiskinan. Tahun 2004 BPS mencatat angka kemiskinan mencapai 36,1
juta dari 217 juta penduduk Indonesia. Suatu jumlah yang memilukan.
Di mata masyarakat, penilaian semacam itu pun sudah
terpatri dalam benak mereka. Pemerintah yang diharapkan mampu menolong mereka
dari persoalan ini belum banyak terharapkan. Selama ini langkah kebijakan para
penguasa negara dianggap belum mampu mengatasi persoalan kemiskinan di negeri
ini. Hal demikian tampak pula dalam berbagai persoalan lainnya, seperti
perbaikan kondisi perekonomian, upaya meningkatkan ketersediaan lapangan kerja,
hingga penyediaan sarana pendidikan maupun kesehatan yang dinilai masih jauh
dari kondisi memadai. Padahal, yang tidak kalah mengkhawatirkan, saat ini
sejalan dengan terjadinya peningkatan harga-harga barang kebutuhan membuat
beban kehidupan ekonomi mereka kian memberat. Dalam kondisi seperti ini,
masihkah upaya pemerintah terharapkan?
Kemiskinan Berimbas Kelaparan
Agustus 1966
Di Nusa Tenggara Barat 20.000 jiwa terserang penyakit
busung lapar, 8.317 orang di antaranya meninggal. Di Lombok Timur Selatan 2.684
orang meninggal dari 17.657 penderita busung lapar. Kelaparan juga diperparah
kemarau panjang. Akibatnya, penduduk memakan apa saja, termasuk makanan bebek.
Pada Oktober 1966 sebanyak 6.000 penduduk Djareweh, Kabupaten Sumbawa, juga
menderita kekurangan pangan.
Desember 1986
Bencana kelaparan melanda Kecamatan Kurina, Jayawijaya,
Papua. Bencana yang terjadi akibat kemiskinan dan tragedi kemarau panjang ini
menyebabkan sedikitnya 169 korban tewas.
Agustus 1997
Kemelaratan yang diperparah musibah kemarau
berkepanjangan juga terjadi di Lampung. Warga terpaksa makan tiwul akibat
krisis pangan di daerah ini dan tampak hampir merata di pedesaan Provinsi
Lampung. Di Tulangbawang Tengah, Tulangbawang Udik, dan Mesuji, kondisinya
cukup parah. Sekitar 90 persen penduduk desa tidak mampu lagi membeli beras.
April 2002
Puluhan ribu penduduk dalam 89 desa di Kabupaten
Banjarnegara, Jawa Tengah, rawan pangan. Ribuan lain krisis pangan. Pada Juli
2002 kelaparan dan krisis gizi akibat kekeringan melanda sekurangnya 14.953
keluarga miskin di Kabupaten Grobogan.
Maret 2005
Krisis pangan akibat kekeringan melanda sepuluh kabupaten
di Nusa Tenggara Timur. Kondisi terparah melanda Kabupaten Lembata. Warga di
sejumlah desa di Kecamatan Ile Ape dan Lebatukan terpaksa mengonsumsi makanan
langka, yakni buah bakau dan kacang hutan. Keadaan semakin parah karena 80
persen dari sekitar 92.984 penduduk Lembata dalam kategori miskin.
Kemiskinan Memperburuk Kesehatan
Januari 1974
Serikat Buruh Maritim Indonesia menyebutkan, sebanyak 60
persen atau sekitar 6.000 orang dari buruh-buruh pelabuhan Tanjung Priok
menderita TBC. Penderitaan itu terjadi karena ketidakmampuan buruh-buruh
tersebut berobat.
Mei 1976
Imbas kemiskinan dapat membawa bencana yang
mengkhawatirkan. Prof Dr Teuku Jacob dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
menyatakan, panjang umur yang dapat dicapai seseorang terpengaruh oleh
kemiskinan. Diperkirakan tiap tahun 15 juta kematian terjadi akibat kekurangan
gizi sebagai dampak kemiskinan.
Mei 1993
Tingginya angka kematian diakibatkan kemiskinan dan
ketidakmampuan untuk berobat melanda Kota Padang. Sejak awal Februari hingga
April jumlah orang yang meninggal akibat penyakit pernapasan mencapai angka 47
orang dan hampir seluruhnya anak-anak. Angka ini cukup mengagetkan mengingat
jumlah seluruh warga desa itu hanya 394 keluarga (1.497 jiwa).
September 2001
Bahaya kemiskinan juga berimbas pada rendahnya tingkat
kesadaran kesehatan. Akibatnya, banyak warga yang meninggal karena penyakit.
Salah satunya adalah TBC. Setiap tahun sekitar 140.000 penduduk meninggal dunia
akibat penyakit menular ini. Departemen Kesehatan melaporkan, lebih dari 60
persen yang terkena TBC ini adalah orang-orang miskin.
Pengangguran Memperparah Kemiskinan
Maret 1975
Pengangguran buruh kayu menambah parahnya kemiskinan di
Riau. Akibat kondisi perkayuan di Riau dalam keadaan kritis, banyak perusahaan
perkayuan yang gulung tikar. Hal ini menyebabkan 12.000 buruh kayu di Riau
terpaksa menganggur dan tidak punya penghasilan sama sekali.
September 1999
Sekitar 630.000 jiwa penduduk DKI Jakarta jatuh miskin
dalam kurun tahun 1998-1999. Jumlah itu lebih banyak dibandingkan dengan angka
sebelumnya, 270.000 jiwa. Jumlah pengangguran di Jakarta naik dua kali lipat
menjadi 900.000 orang, dari 450.000 orang sebelum krisis. Secara nasional angka
pengangguran akibat krisis mencapai 35 juta orang.
Juni 2004
Peningkatan PHK karyawan menambah deretan penduduk
miskin. Bappenas mencatat pada tahun 2003 jumlah pekerja formal di perkotaan
mengalami penurunan hingga 743.237 orang, sementara tahun 2002 menurun 374.311
orang. Hal serupa terjadi pada pekerja formal di pedesaan yang mengalami
pengurangan sekitar 555.837 orang sehingga secara nasional jumlah pekerja turun
sekitar 1,3 juta orang.
Desember 2004
Besarnya angka pengangguran mencemaskan. Tingkat
pengangguran terbuka 9,53 persen pada tahun 2003 atau sekitar 9,5 juta warga
negara membuat jumlah daerah tertinggal di Indonesia juga kian banyak. Sebanyak
190 kabupaten dari 440 kabupaten/kota di Indonesia masuk kategori daerah
tertinggal.
Kemiskinan Mengancam Pendidikan
Oktober 1971
Kemiskinan berdampak pada kelangsungan pendidikan. Hasil
survei yang dilakukan Badan Pengembangan Pendidikan Depdikbud menemukan 55,4
persen siswa SD di 65 desa di Jawa Barat terpaksa drop out dari sekolahnya
karena faktor kemiskinan. Penelitian Depdikbud pada bulan April 1972 juga
menemukan bahwa anak didik yang keluar sebelum waktunya di lingkungan SD
mencapai 60-65 persen.
Maret 1974
Data Depdikbud Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
menyebutkan, dari 82.665 siswa di Yogyakarta yang masuk SD tahun 1968, hanya
37.499 orang yang berhasil menamatkan pendidikannya. Berarti, 45.166 anak
berhenti sekolah. Faktor utama penyebabnya adalah ketidakmampuan orangtua
membiayai pendidikan mereka.
Juli 1998
Krisis ekonomi mengancam pendidikan anak di Sulawesi
Selatan. Unicef memperkirakan sekitar 150.000 anak di Sulawesi Selatan terancam
putus sekolah dari jumlah sebelumnya yang mencapai 102.000 orang. Krisis juga
telah meningkatkan jumlah penduduk miskin sebesar 300 persen.
Juli 1999
Ancaman merosotnya kualitas manusia Indonesia semakin
jelas karena kemiskinan. Di Padang dan Aceh sebanyak 56.946 siswa (usia 7-18
tahun) dan 10.000-an siswa mengalami putus sekolah. Sebanyak 750.000 anak usia
sekolah di Palembang bernasib serupa. Di Bandung 171.125 siswa mengalami putus
sekolah. Bahkan, 20.825 siswa sudah dinyatakan drop out.
April 2003
Pendidikan di Kalimantan Selatan juga diterjang
kemiskinan. Sebanyak 3,7 juta anak usia sekolah dari keluarga miskin kesulitan
membiayai sekolah mereka. Angka ini memang lebih baik dari tahun ajaran
1998/1999 yang mencapai 8 juta siswa. Sedangkan jumlah anak usia sekolah kurang
mampu mencapai 48.289 siswa. Sementara di Kalimantan Timur, pada Januari 2004,
dari 1,89 juta anak berusia di atas 10 tahun, sebanyak 4,18 persen atau 79.000
jiwa di antaranya tidak mampu bersekolah.
Dewi Pancawati/Litbang Kompas
Kemakmuran Rakyat Masih Impian
DARI 3,9 juta keluarga nelayan miskin
di Indonesia, mungkin hanya seorang Rokhmin Dahuri yang bisa menjadi profesor
dan pernah menjadi menteri. Sisanya bernasib tragis, hidup melarat di negara yang dua
pertiga wilayahnya adalah lautan.
SEJAK Republik Indonesia berdiri hampir 60 tahun silam,
kekayaan dan kemakmuran rakyat kecil, yakni petani dan nelayan, hanya ada di
dalam syair lagu. Kekayaan Indonesia memang dikuasai negara dan dikelola para
penguasa yang datang silih berganti. Tetapi kemakmuran rakyat adalah impian,
kemiskinan dan kemelaratan dalam pelbagai bentuk senantiasa menghinggapi bagian
terbesar rakyat Indonesia.
Rokhmin Dahuri yang hingga SMP dan SMA masih melaut
membantu ayahnya di pesisir pantai utara (pantura) Jawa, merasakan pahitnya
kehidupan nelayan sebagai bagian komponen penting namun tersisih dari perhatian
pemerintah. Bahkan, untuk membiayai pendidikan di perguruan tinggi, dia harus
berjualan ikan asin dari Indramayu di Kota Bogor.
Berdasar pengalaman hidupnya, Rokhmin berpendapat ada
tiga penyebab kemiskinan, yakni faktor sumber daya alam serta lingkungan,
problem struktural, dan kultural.
Kemiskinan karena faktor alam dan lingkungan disebabkan
degradasi laut dan pesisir karena penggundulan hutan bakau, reklamasi, serta
pencemaran yang mengakibatkan habitat biota laut rusak berat. Terlebih tidak
ada upaya nyata untuk memperbaiki kondisi tersebut sehingga mengakibatkan
overfishing dan pemanenan lebih tinggi dari recovery alami.
Contoh nyata adalah nelayan pantura Jawa di zone 1-tepi
pantai hingga 4 mil ke laut-sudah overfishing sejak tahun 1986. Kondisi serupa
terjadi di pelabuhan perikanan terbesar di Indonesia, yakni Bagansiapi-api
sejak awal 1990-an. Overfishing juga terjadi di sekitar Makassar dan Selat Bali
dengan menurunnya jenis tangkapan tertentu, seperti lemuru dan ikan terbang.
Kemiskinan struktural merupakan dampak kebijakan
pemerintah yang tidak kondusif terhadap nelayan dan masyarakat pesisir terhadap
akses ekonomi produktif berupa permodalan, teknologi (penangkapan, pengolahan,
dan sebagainya), infrastruktur, akses pasar, dan informasi (lokasi penangkapan
ikan, situasi harga, dan sebagainya).
Faktor terakhir adalah kemiskinan kultural karena budaya
masyarakat nelayan dan pesisir yang belum mampu menyesuaikan diri dengan pola
ekonomi pasar. Kemungkinan, masyarakat tipe ini secara psikologis
tertekan-kehidupan di laut lebih keras dari bertani-sehingga mereka cenderung
memerlukan stress release.
Upaya melepas stres ini muncul dalam pola kehidupan yang
boros saat mendapat penghasilan lebih. Akhirnya mereka terlibat utang kepada
tengkulak atau juragan kapal.
Kemiskinan kultural ini juga berdampak pada sulitnya
nelayan menerima inovasi. Semisal, pada tahun 1970-an sempat diperkenalkan es
batu untuk mengawetkan tangkapan di atas kapal. Tetapi upaya ini tidak
serta-merta diterima karena nelayan merasa rugi membuang uang untuk membeli es
yang cair di atas kapal. Setelah boks styrofoam diperkenalkan untuk menyimpan
es agar lebih tahan lama, barulah budaya es ini diterima nelayan.
Dari ketiga faktor kemiskinan, persoalan struktural
menjadi kunci permasalahan. Sebabnya, tidak ada sense of empathy dan urgensi
dari birokrasi, tidak ada pengalaman nyata para birokrat dalam menangani
masyarakat nelayan dan pesisir, serta terutama sekali jajaran birokrasi pun
masih harus bergelut untuk memenuhi kebutuhan hidup.
SEKTOR kelautan dan pertanian sebetulnya adalah industri
yang berbasis local resource yang memiliki comparative advantage sebagai mesin
penghasil devisa. Jumlah tenaga kerja yang dapat diserap, selain 3,9 juta
keluarga nelayan, ada sekitar 3 juta angkatan kerja yang terkait dengan sektor
tersebut.
Dengan demikian, secara keseluruhan ada sekitar 16 juta
rakyat Indonesia yang menggantungkan hidup di sektor laut dan pesisir.
Belum lagi peluang penyerapan tenaga kerja dengan asumsi
pembukaan satu juta hektar tambak udang akan mampu menyerap 3 juta tenaga kerja.
Sedangkan pembukaan lahan budi daya rumput laut seluas 200.000 hektar akan
menyerap satu juta tenaga kerja.
Namun, persoalan utama adalah mengatasi kemiskinan
struktural yang berdampak pada pola penghasilan yang selalu di bawah
pengeluaran nelayan. Salah satu akar permasalahan adalah tidak adanya
koordinasi produksi perikanan dan pasar.
Sebagai contoh, di saat tertentu, ikan kembung bisa
mencapai harga Rp 10.000 sekilo. Namun, waktu panen raya harga jatuh hingga Rp
2.000 per kilogram.
Seharusnya, Rokhmin menambahkan, ada kawasan industri
terpadu di permukiman nelayan yang seperti dilakukan Jepang, Korea Selatan, dan
Taiwan. Dari pembuatan jaring, stasiun pengisian bahan bakar, dan industri
kecil dibangun di permukiman nelayan untuk meningkatkan taraf hidup mereka.
Contoh keberhasilan adalah pasar ikan terbesar di dunia di Tokyo dan pelabuhan
perikanan Bu San di Korea Selatan.
Di Indonesia telah diupayakan membangun stasiun pengisian
bahan bakar nelayan (SPBN) yang dirintis sejak 2004 dengan target membangun
1.260 unit hingga tahun 2007.
Sampai saat ini telah dibangun sekitar 175 stasiun dan
keberadaan mereka berhasil menekan harga bahan bakar di tingkat nelayan.
Sebelumnya di sejumlah daerah, nelayan membeli solar hingga harga Rp 5.000 atau
Rp 10.000 per liter di Pulau Miangas, Sulawesi Utara.
Demikian pula upaya membangun dock yard kecil, fasilitas
cold storage, dan jaringan informasi pasar di perkampungan nelayan perlu
mendapat dukungan. Juga yang berhasil dirintis adalah pembangunan cold storage
di Muara Baru, Sukabumi, dan Pekalongan.
Bahkan kini ada bank khusus nelayan, yakni Bank Danamon
Pelabuhan Ratu. Namun, yang perlu dicermati adalah kesinambungan kebijakan ini
karena di sejumlah daerah kebijakan pemerintah pusat tidak ditindaklanjuti.
Pemerintah harus berfokus mengembangkan ekonomi kecil
yang langsung dirasakan rakyat dan akan meningkatkan pajak. Kebijakan Thaksin
Sinawatra, Mahathir Mohamad, dan Zhu Rong Ji dengan menetapkan bunga rendah
bagi usaha kecil berhasil menggerakkan ekonomi negara mereka.
Mereka memerintahkan perbankan menyalurkan kredit bagi
usaha kecil sekaligus memantau penyaluran. Pejabat tertentu ditunjuk dan jika
terjadi penyimpangan mereka harus bertanggung jawab.
SEKJEN Transparansi Internasional (TI) Indonesia Emmy Hafild
mengusulkan langkah paling realistis mengatasi kemiskinan melalui affirmative
action, yakni mendorong pemerintah mengambil kebijakan politis tegas dan bukan
sekadar proyek masif seperti "Green Revolution" di masa lalu melalui
proyek pertanian massal di masa Soeharto.
Menurut Emmy, pemerintah harus mencermati perbedaan
kemiskinan di perkotaan, pedesaan, jender, dan pelbagai jenis kemiskinan sesuai
karakteristiknya. Langkah yang harus dilakukan adalah memetakan kantong
kemiskinan di seluruh Indonesia. Berangkat dari data tersebut, bisa dipetakan
permasalahan dan pola penanganan sesuai kebutuhan.
Perbedaan karakteristik kemiskinan dan penanganannya juga
dilakukan di Amerika Serikat. Persoalan kemiskinan perkotaan seperti di daerah
Queen dan Bronx di New York dijawab dengan pengembangan pendidikan dan penataan
low cost housing, counseling, dan pelbagai langkah penanganan terpadu. Di daerah pedesaan dilakukan perlindungan terhadap pertanian
kecil dari corporate farming.
Dua
langkah utama yang harus diambil pemerintah menyikapi kondisi ini adalah social
based approach, yakni menghindari economy based approach yang menekankan pada
pembukaan lapangan kerja atau memberi stimulan pada kelompok usaha besar
belaka. Social based approach
berfokus langsung pada masyarakat miskin. Sedangkan pandangan memberi insentif
bagi usaha besar untuk mendorong pemberantasan kemiskinan tidak lagi valid.
Begitu banyak perusahaan besar berdiri, tetapi orang miskin tetap bertambah dan
kesejahteraan buruh di bawah garis kemiskinan.
Kedua kebijakan struktural memprioritaskan pemanfaatan
sumber daya alam untuk kesejahteraan masyarakat lokal. Berangkat dari
pengalaman "Oil Curse" yaitu daerah penghasil minyak justru menjadi
kantong kemiskinan, pemerintah harus mengubah total pola pengelolaan dan
terutama pemanfaatan pendapatan dari sektor migas dan pertambangan.
Pemerintah harus secara terbuka mengeluarkan data
pendapatan dari sektor migas dan pertambangan. Seluruh hasil sektor tersebut
digunakan untuk pengentasan kemiskinan dan tidak untuk membiayai belanja rutin.
Langkah-yang dimotori John Blair dengan istilah
extractive industry transparency initiative-sudah ditempuh oleh Kazakstan yang
mencadangkan pendapatan migas sebagai dana abadi, diumumkan terbuka dan dapat
diakses via internet. Langkah serupa dicoba di Nigeria dan beberapa negara
penghasil migas lain.
Khusus di Indonesia, dapat dimulai
pelaksanaan pendidikan gratis di wilayah yang tertinggal atau daerah penghasil
migas. Pendidikan gratis
dari SD-SMA bahkan hingga jenjang perguruan tinggi.
Pengalihan alokasi dana migas ini tidak merugikan
keuangan negara karena komponen terbesar pendapatan berasal dari sektor pajak,
sekitar 70 persen, dari seluruh pemasukan. Solusi kemiskinan ini sangat
mendesak mengingat lebih dari 50 persen penduduk Indonesia hidup dengan
pendapatan kurang dari 2 dollar AS per hari (sekitar Rp 19.000 sehari) dan
sekitar 10-20 persen hidup dengan penghasilan kurang dari 1 dollar AS per hari
(sekitar Rp 9.000 sehari). Itu tentu membuat Human Development Indeks Indonesia
semakin terpuruk.
Pembangunan di pusat dan daerah dalam jangka pendek dan
menengah harus berani memasang target berapa persen kemiskinan dan indikator
kesejahteraan lain yang berhasil dicapai. Ini untuk menghindari
"pemroyekan" kemiskinan.
Saat ini banyak daerah menaikkan data orang miskin untuk
mendapat insentif lebih dari pusat. Padahal, anggaran sebagian besar daerah
mengalokasikan 70 persen belanja untuk membiayai birokrasi dan sedikit saja
untuk pembangunan.
Dalam situasi tersebut yang tercipta adalah negara kaya
dengan bagian terbesar penduduk senantiasa miskin. (Iwan Santosa)
Provinsi Kaya, Rakyatnya Banyak yang Merana
NYONYA Ami (24) masih trauma ketika anak pertamanya,
Fitri (26 bulan), dinyatakan tim medis menderita gizi buruk. Berat badannya
hanya 6,2 kilogram, matanya sayu, dan perutnya buncit. Sempat dirawat di Rumah
Sakit AW Syahranie Samarinda, namun akhirnya anak tercintanya meninggal dunia.
SAYA sudah memberikan yang terbaik semampu saya,"
kata penduduk Kecamatan Samarinda Utara ini di rumah panggungnya yang terbuat
dari kayu. Tidak ada barang mewah apa pun di rumah tersebut, kecuali kasur
tipis yang sudah mulai lapuk. Tak ada kursi tamu apalagi televisi dan perabot
rumah tangga yang memadai. Penghasilan suaminya yang Rp 400.000 per bulan habis
untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
Nasib Ny Supriatin (29) yang mengontrak rumah sederhana
di Kecamatan Sempaja, Samarinda, sedikit beruntung. Anak keempatnya, Tadjudin
Noor (2,5), ditemukan tim medis saat berusia 18 bulan dalam kondisi gizi buruk.
Tatapan matanya kosong, badannya lemah dan kurang bergairah, serta perutnya
buncit. Setelah mendapat perawatan intensif, kini pertumbuhan badannya semakin
membaik.
Ny Ami dan Ny Supriatin bukanlah penduduk daerah minus
dan gersang. Keduanya tinggal di Kalimantan Timur (Kaltim) yang mendapat
julukan provinsi kaya. Julukan ini tidak berlebihan karena kekayaan alamnya
jauh sangat melimpah dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Tanah Air.
Bayangkan saja, produksi emasnya tahun 2002 mencapai 16,7
ton, sedangkan produksi peraknya mencapai 10,8 ton. Produksi batubara Kaltim
yang luasnya 1,5 kali Pulau Jawa itu mencapai 50,3 juta ton pada tahun 2003 dan
meningkat menjadi 53,7 juta ton tahun 2004.
Belum lagi gas alam yang produksinya tahun 2002 mencapai
1.647 miliar meter kubik serta produksi minyak buminya mencapai 79,7 juta
barel. Produksi metanolnya mencapai 223.357 ton pada tahun 2002. Kekayaan yang
melimpah ini masih ditambah lagi dengan produksi kayu alam yang jatah tebangnya
1,5 juta meter kubik pada tahun 2004.
Tidak heran, dengan kekayaan yang melimpah ini, produk
domestik regional bruto Kaltim mencapai Rp 98,43 triliun pada tahun 2003 dan
meningkat menjadi Rp 104,3 triliun pada tahun 2004.
Provinsi dengan luas wilayah 245.237 kilometer persegi
ini juga tidak perlu khawatir bakal jatuh miskin tiba-tiba karena cadangan
kekayaan alamnya masih sangat melimpah. Cadangan minyak buminya, sebagai
contoh, masih 1,3 miliar barel atau 13 persen dari cadangan minyak bumi
nasional yang mencapai 9,6 miliar barel. Begitu juga gas alam yang masih
tersedia 51,3 triliun meter kubik atau 30 persen dari cadangan gas alam
nasional yang mencapai 170,3 triliun meter kubik.
Mestinya dengan sumber daya alam yang melimpah,
penduduknya yang hanya berjumlah 2,7 juta jiwa-atau lebih sedikit dibandingkan
dengan penduduk Bandung, Bogor, apalagi Surabaya-bisa hidup makmur dan
berkecukupan. Semestinya tidak ada lagi penduduk Kaltim yang miskin. Namun
kenyataannya, provinsi Kalimantan Timur yang sangat kaya itu masih menaungi
sebagian rakyat yang sangat merana.
Menurut Gubernur Kalimantan Timur Suwarna Abdul Fatah,
dari 2,7 juta penduduk Kaltim, sekitar 330.147 jiwa atau 12 persen tergolong
miskin. Bahkan, dari 1.144 desa dan 191 kelurahan di Kaltim, sekitar 300 di
antaranya masih merupakan desa tertinggal.
Menurut Nusyirwan Ismail, asisten II Bidang Pembangunan
Pemerintah Provinsi Kaltim, persentase penduduk miskin di Kaltim masih di bawah
tingkat nasional yang mencapai 16 persen dari total jumlah penduduk. Meski
demikian, hal ini bukan sesuatu yang membanggakan karena Kalimantan Timur
merupakan provinsi yang dikaruniai kekayaan alam lebih dari daerah lain di
Indonesia.
KEMISKINAN yang terjadi di Kaltim hampir merata di semua
kota dan kabupaten. Namun, jumlah penduduk miskin terbesar justru terdapat di
Kabupaten Kutai Kartanegara yang selama ini mendapat julukan kabupaten terkaya
di Tanah Air dengan APBD tahun 2003 sebesar Rp 2,4 triliun dan tahun 2004
sebesar Rp 2,7 triliun. Bandingkan dengan APBD Provinsi Kalimantan Barat yang
sekitar Rp 600 miliar per tahun.
Jumlah penduduk miskin di Kabupaten Kutai Kartanegara
adalah 68.796 jiwa atau 14,7 persen dari penduduknya yang berjumlah 468.000
jiwa. Menyusul kemudian Kota Samarinda yang merupakan ibu kota Kaltim dengan
jumlah penduduk miskin 46.906 jiwa atau 9,2 persen dari jumlah penduduknya yang
mencapai 505.995 jiwa. Urutan ketiga Kabupaten Pasir dengan jumlah penduduk
miskin 44.906 jiwa atau 16,7 persen dari penduduknya yang 267.880 orang. Yang
paling sedikit jumlah penduduk miskinnya adalah Kota Bontang: 8.700 jiwa atau
8,4 persen dari 102.850 jiwa.
Namun, bukan cuma penduduk miskinnya yang masih banyak.
Fasilitas kesehatan dan pendidikan juga masih sangat terbatas. Untuk fasilitas
kesehatan 2,7 juta warga Kaltim, misalnya, hanya tersedia 159 puskesmas dan 24
rumah sakit dengan 2.308 tempat tidur. Jumlah dokter hanya 27,8 per 100.000
penduduk, jumlah puskesmas 6,4 per 100.000 penduduk, dan tempat tidur rumah
sakit 92,8 per 100.000 penduduk. Jumlah ini tentu saja sangat tidak layak,
apalagi untuk sebuah provinsi kaya.
Begitu pun di sektor pendidikan dasar. Menurut Kepala
Dinas Pendidikan Kalimantan Timur Syafrudin Pernyata, dari 2.094 bangunan
sekolah dasar di Kaltim, sekitar 628 unit atau 30 persennya dalam keadaan
rusak.
Dari 15.406 ruang kelas SD di Kaltim, sekitar 4.049 unit
dalam keadaan rusak sedang dan rusak parah. Tragisnya, ruang kelas yang rusak
tersebut sebagian besar berada di kabupaten-kabupaten kaya. Di Kabupaten Kutai
Kartanegara, misalnya, dari 3.780 ruang kelas yang ada, sekitar 1.450 unit di
antaranya dalam keadaan rusak. Di Kabupaten Kutai Barat yang merupakan daerah
pertambangan emas terbesar di Kaltim, dari 1.477 ruang kelas yang ada, sekitar
754 unit dalam keadaan rusak.
Ironisnya, di tengah keterbatasan sarana dan prasarana
kemasyarakatan tersebut, sejumlah kabupaten di Kalimantan Timur berlomba-lomba
membangun kawasan kantor bupati yang megah. Di Kabupaten Kutai Timur, misalnya,
dibangun kawasan perkantoran dengan biaya sekitar Rp 650 miliar. Di Kabupaten
Malinau yang berpenduduk 46.000 jiwa dibangun kawasan perkantoran seluas 100
hektar dengan biaya sekitar Rp 110 miliar.
Pantas jika kemudian banyak gugatan, ke mana kekayaan
alam Kalimantan Timur yang melimpah ruah itu? Mengapa masih banyak rakyat
miskin dan infrastruktur yang masih sangat terbatas?
ASISTEN II Bidang Pembangunan Pemerintah Provinsi
Kalimantan Timur Nusyirwan Ismail berpendapat, banyaknya penduduk miskin di
Kaltim tidak terlepas dari banyaknya migran dari daerah lain. Dia
mengungkapkan, pertumbuhan penduduk Kaltim sekitar 3,76 persen per tahun, namun
2,54 persen di antaranya merupakan pertumbuhan akibat migrasi, sedangkan
pertumbuhan penduduk karena kelahiran hanya 1,22 persen.
"Banyak pendatang di Kaltim yang jobless atau tanpa
pekerjaan yang membawa kemiskinan ke Kaltim, itu salah satu sebab penduduk
miskin di Kaltim masih cukup besar," katanya.
Selain itu, meskipun kaya sdengan umber daya alam,
program pengentasan orang miskin masih sangat bergantung pada pemerintah pusat.
Biaya pendidikan 106.948 anak sekolah dari keluarga miskin, misalnya, harus
menunggu kucuran dana kompensasi BBM dari pemerintah pusat. Begitu pun di
bidang kesehatan. Untuk jaminan kesehatan penduduk miskin sebesar Rp 12.000 per
kapita per bulan, kontribusi pemerintah provinsi hanya Rp 2.800 per kapita,
pemerintah kabupaten atau kota Rp 4.200, dan sisanya sebesar Rp 5.000 per
kapita per bulan dari pemerintah pusat.
Sementara itu, menurut anggota Dewan Perwakilan Daerah
asal Kalimantan Timur Luther Kombong, banyaknya penduduk miskin di Kaltim tidak
terlepas dari kebijakan pemerintah masa lalu. Pemerintah hanya memfokuskan
pembangunan di Jawa, tapi kurang memerhatikan masyarakat di luar Jawa seperti
Kalimantan.
"Akhirnya seperti sekarang ini, sebagian masyarakat
Kaltim tertinggal meskipun alamnya kaya raya," kata Luther.
Masyarakat juga akhirnya mengambil langkah pragmatis
karena merasa tidak diperhatikan pemerintah. Karena itu, jangan kaget jika
kemudian sekarang ini masyarakat di perbatasan dan pedalaman Kaltim secara
sosial dan ekonomi lebih dekat ke Malaysia.
"Mulai dari barang kebutuhan sehari-hari hingga
siaran televisi, lebih banyak dari Malaysia bukan dari Jawa," kata Luther.
Di sisi lain, pengelolaan sumber daya alam juga timpang
dan dirasakan tidak adil bagi daerah. Misalnya untuk perusahaan pertambangan
yang beroperasi di daerah, royalti perusahaan sebagian besar diserahkan kepada
pemerintah pusat, sedangkan pemerintah daerah hanya mendapat bagian sekitar 5
persen dari royalti, bukan dari keuntungan perusahaan.
Sebagai contoh, Kabupaten Kutai Barat yang menghasilkan
16,7 ton emas dalam setahun hanya mendapat bagian kompensasi pertambangan
sebesar Rp 10 miliar per tahun. Dana ini dihitung lima persen dari royalti
perusahaan (bukan keuntungan perusahaan) sebesar Rp 200 miliar yang disetor
kepada pemerintah pusat. Padahal, daerahlah yang paling banyak menanggung
kerugian dan kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan. Pola yang sama
juga diterapkan dalam kegiatan pertambangan batubara.
Jadi, penduduk Kaltim yang kaya raya selama ini hanya
bisa melihat kekayaan alamnya dikeruk dan dikuras untuk dibawa ke
"Jakarta".
Bagian kekayaan yang diserahkan kepada
daerah juga tidak dapat dikelola aparat birokrat di daerah dengan bijak. Jadi pantas saja, walaupun Kalimantan
Timur kaya raya, rakyatnya tetap merana. (TRY HARIJONO/PRASETYO EKO)
Bangsa Ini Harus Mandiri
PEMERINTAH secara konsisten memerhatikan nasib lebih
kurang 36,1 juta penduduk (lebih kurang delapan juta keluarga) yang masih masuk
dalam kategori miskin. Pemerintah memberi subsidi beras (raskin, dengan kupon
via lurah), sekolah gratis (beasiswa), dan fasilitas kesehatan kepada warga
yang memang tidak mampu secara ekonomi.
"Pemberian subsidi ini dimungkinkan dengan dana
kompensasi bahan bakar minyak (BBM)," kata Wakil Presiden Jusuf Kalla
menegaskan, yang ditemui di ruang kerjanya kemarin.
Kenaikan harga minyak dunia menyebabkan anggaran belanja
negara banyak terkuras oleh subsidi BBM. Asumsi harga minyak untuk APBN hanya
24 dollar AS per barrel, tetapi kenyataannya mencapai 57 dollar AS. Subsidi
untuk BBM naik dari Rp 19 triliun menjadi lebih dari Rp 120 triliun. Dengan
kenaikan harga BBM, subsidi itu hanya berkurang dari Rp 12 triliun per bulan
menjadi lebih kurang Rp 9 triliun per bulan.
Dengan penguraian angka tersebut, menurut Wakil Presiden,
kenaikan harga BBM baru-baru ini tidak mengurangi secara signifikan subsidi
BBM. Makna lainnya, pemerintah dan masyarakat harus mengurangi konsumsi BBM
jika tidak ingin melihat subsidi terus membengkak dan sangat membebani belanja
negara.
Wakil Presiden tidak sependapat dengan pandangan yang
menyatakan bahwa kenaikan BBM menyebabkan pertambahan penduduk miskin. Jusuf
kemudian memaparkan data yang ia peroleh dari Badan Pusat Statistik dan BPKP.
Pada 1 Oktober 2000 pemerintah menaikkan harga BBM. Posisi penduduk miskin
mencapai 38,7 juta jiwa (19,14 persen).
Pada tanggal 16 Juni 2001, pemerintah kembali menaikkan
harga BBM. Posisi penduduk miskin ketika itu 37,9 juta jiwa atau 18,41 persen.
Ini berarti, kata Wakil Presiden, jumlah penduduk miskin tidak meningkat ketika
BBM dinaikkan, buktinya penduduk miskin tahun 2001 lebih kecil dibandingkan
dengan tahun 2000, padahal tahun 2000 pemerintah menaikkan harga BBM.
Tahun 2003, tepatnya tanggal 2 Januari, pemerintah juga
menaikkan harga BBM. Posisi penduduk miskin ketika itu 37,4 juta jiwa (17,42
persen, lebih kecil dibanding tahun 2001 dan 2002). Tahun 2004, tidak ada
kenaikan harga BBM. Posisi penduduk miskin mencapai 36,1 juta jiwa (16,6
persen).
KEMISKINAN harus dilawan dengan membangun kemandirian dan
melepaskan diri dari belitan utang baru. "Dari komposisi terlihat beban membayar
utang Rp 71 triliun, lebih besar dibandingkan anggaran pendidikan dan kesehatan
sebesar Rp 10 triliun-Rp 25 triliun," ungkap Koordinator Koalisi Anti
Utang (KAU) Kusfiardi.
Bangsa ini dapat belajar dari pengalaman Soekarno yang
menolak tawaran Bank Dunia dan IMF sekitar 1965 saat perekonomian terpuruk.
Badan dunia tersebut menawarkan bantuan dengan syarat, liberalisasi keuangan,
liberalisasi perdagangan, privatisasi, dan anggaran ketat pada pemerintahan
Soekarno.
Usul tersebut ditolak, dan tidak lama
muncul G30S PKI. Rezim baru yang sangat akomodatif terhadap tuntutan tersebut
langsung bekerja sama sesuai keinginan badan dunia. Dan sejumlah perusahaan
besar dunia, menyusul kejatuhan Soekarno, mengadakan pertemuan di Swiss untuk
membagi "jatah" proyek dan pekerjaan di Indonesia yang hingga kini
masih berlanjut.
Menurut Bank Dunia, jumlah penduduk
Indonesia yang berpendapatan kurang dari 2 dollar AS atau Rp 19.000 per hari
mencapai 60 persen. Sebaliknya, deposito dengan volume terkecil Rp 5 miliar jumlahnya
meliputi 95 persen dari jumlah seluruh deposito yang terhimpun pada sejumlah
bank, diperkirakan hanya dimiliki oleh 14.000 orang terkaya.
"Jangankan subsidi BBM, subsidi
pendidikan dan kesehatan, keberadaan pemerintah itu sendiri cenderung dinikmati
oleh orang kaya daripada anggota masyarakat miskin," ujar pengamat ekonomi
dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Revrisond Baswir.
Selain itu, beban berat anggaran negara terutama
disebabkan besarnya subsidi terselubung pada sektor perbankan serta beban
angsuran pokok dan bunga utang dalam negeri setiap tahun. Hal itu tampak dalam
APBN 2004, di mana angsuran pokok dan bunga utang dalam negeri mencapai Rp 74
triliun, sedangkan angsuran pokok dan bunga utang luar negeri mencapai Rp 71
triliun. Jumlah itu 10 kali lebih besar dari volume subsidi BBM yang hanya
dianggarkan sebesar Rp 14,5 triliun.
Saat ini yang perlu segera dilakukan
adalah koreksi sistematis terhadap struktur perekonomian yang timpang, dengan
cara menghentikan subsidi terselubung terhadap sektor perbankan, mengalokasikan
anggaran negara pada program penanggulangan kemiskinan, kesehatan, dan
pendidikan, serta memerangi korupsi. (ben/ong/as/dmu)
Miskin di Daerah Petro Dollar
DATA terakhir Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi
Riau tahun 2004 menunjukkan, dari 4.543.584 penduduk provinsi ini, 22,19 persen
termasuk kategori miskin. Mereka tersebar di 11 kabupaten atau kota dengan
kisaran 10 hingga 23 persen dari total jumlah penduduk di setiap wilayah.
Pendataan Balitbang Riau memaparkan, sebagian besar kepala keluarga miskin itu
termasuk dalam kelompok umur produktif, 30-55 tahun, dan secara akumulatif
mencapai 65,14 persen. Persentase kelompok umur 30 tahun ke bawah dan kelompok
umur 55 tahun ke atas masing-masing 15,48 persen dan 19,37 persen.
KELUARGA miskin ini umumnya penduduk tempatan yang telah
tinggal di daerah tersebut lebih dari 10 tahun. Pendidikan mereka umumnya
tamatan sekolah dasar. Sebagian buta huruf. Jika terserap sebagai tenaga kerja,
kedudukan mereka tentulah pekerja kasar seperti buruh tani, buruh bangunan, dan
buruh sektor jasa lainnya.
Dengan penghasilan pas-pasan, cukup untuk makan saja,
mereka sering dijadikan contoh kasus kemiskinan yang melandasi Pemerintah
Provinsi Riau terus berusaha mendapat kucuran dana lebih dari pemerintah pusat,
khususnya dalam perolehan dana bagi hasil minyak dan gas.
Riau selama ini dikenal sebagai salah
satu daerah penghasil minyak terbesar di Indonesia. Sejak tahun 1970-an potensi ini dilirik
investor luar negeri yang berani mengucurkan jutaan dollar AS demi menambang
kandungan minyak Riau. Sejak diizinkan beroperasi sekitar 30 tahunan lalu,
kucuran uang hasil bagi dari penambangan minyak antara investor asing, salah
satunya PT Caltex Pacific Indonesia, dan pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah Riau terhitung sangat tinggi. Itu barangkali julukan daerah petro dollar
tak terpisahkan dari provinsi ini.
Selama ini pembagian dana bagi hasil migas antara
pemerintah pusat dan Riau: 17 berbanding 3 setiap tahunnya. Dalam satu tahun
pemerintah pusat memperoleh sekitar Rp 68 triliun dari hasil minyak dan gas di
Riau. Yang dikembalikan kepada Pemprov Riau sebesar Rp 8,9 triliun. Besaran
dana inilah yang ingin ditingkatkan oleh Pemprov Riau menjadi minimal perolehan
30 persen dari dana bagi hasil. Ini terkait dengan banyaknya penduduk miskin,
yang umumnya tinggal di daerah aliran sungai, pesisir pantai, dan pulau-pulau
terisolasi akibat terbatasnya akses.
Namun, pengamat sosial ekonomi Riau yang juga Dekan
Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Riau H Yohanas Oemar awal pekan lalu
mengatakan ketidaksetujuannya ketika data kemiskinan menjadi pijakan penekanan
pemerintah daerah untuk mendapatkan dana bagi hasil lebih dari pemerintah
pusat.
"Kemiskinan tidak terkait dengan minimnya uang yang
dimiliki pemerintah daerah. Selama ini bahkan boleh dikatakan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah sama sekali belum menyentuh kemiskinan,"
kata Yohanas. "APBD hanya berkutat untuk pemenuhan operasional pemerintah
dan anggota DPR. Selebihnya memang dialokasikan untuk pembangunan, tetapi hanya
bersifat seremonial."
Beberapa contoh. Besarnya dana operasional makan minum
kepala daerah dalam APBD Riau 2005 mencapai belasan triliun, sementara angka
riil untuk program pengentasan orang miskin tak lebih 50 persen dari dana
operasional tersebut. Belum lagi giatnya pemerintah provinsi dan daerah tingkat
II membangun kelengkapan rumah-rumah dinas, perkantoran, dan gedung fasilitas
umum yang ternyata tidak dapat difungsikan maksimal untuk kepentingan
masyarakat.
Yohanas mengakui kemiskinan tetap menjadi masalah besar
di Riau. Hanya saja, menurut dia, setiap penelitian harus didahului dengan
pengumpulan potret kemiskinan yang di setiap kabupaten berbeda karakter dan
sebabnya. Itu yang belum dilakukan oleh dinas-dinas pemerintahan dalam
menyajikan data sehingga boleh dibilang data tentang kemiskinan itu belum
mendekati keadaan sebenarnya.
Data kemiskinan Badan Penelitian dan Pengembangan
(Balitbang) Riau menekankan delapan indikator penilaian, yaitu: frekuensi makan
yang minimal dua kali sehari, konsumsi lauk-pauk yang berprotein, kepemilikan
pakaian, aset, luas lantai hunian per kapita minimal delapan meter persegi,
jenis lantai, ketersediaan air bersih, dan kepemilikan jamban. Indikator
tersebut, menurut Yohanas, terlalu memukul rata karakter sosial budaya
masyarakat. Padahal, antara
daerah pesisir pantai dan daerah pedalaman saja jelas ada perbedaan dari berbagai
segi. Tingkat kemiskinan di
masing-masing daerah tidak dapat disamaratakan selama belum dimasukkan
indikasi-indikasi khusus yang sesuai dengan karakter daerahnya.
PERSOALAN kaum miskin di Riau ini tak hanya terbatas pada
indikator-indikator itu. Keberadaan mereka di daerah-daerah terisolasi sering
luput dari sentuhan pembangunan, seperti terjangkitnya malaria di sepanjang
kawasan pesisir Riau dan banjir yang selalu menyerang daerah sekitar sungai.
Warga Riau yang tamat sampai sekolah dasar 64,67 persen, sementara pertumbuhan
ekonomi Riau per tahun sangat tinggi, melampaui 4,5 persen. Demikian pula
produk domestik bruto per kapita yang mencapai Rp 13,2 juta.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Riau menunjukkan
penyebab tingginya jumlah orang miskin di provinsi ini karena perekonomiannya
sangat bergantung pada empat bidang utama yang seluruhnya dikuasai oleh pelaku
ekonomi yang tidak berbasiskan usaha kecil dan menengah. Keempat bidang utama
tersebut adalah perkebunan, pertambangan, kehutanan, dan perdagangan.
Estimasi pertumbuhan ekonomi di Riau, tanpa melibatkan
minyak dan gas, masing-masing di sektor pertanian tumbuh sekitar 6,47 persen
pada 2004, industri tumbuh 5,57 persen, pertambangan tumbuh 4,45 persen, dan
perdagangan tumbuh 5,88 persen.
Namun, distribusi faktor ekonomi di provinsi ini tidak
merata pengalokasiannya ke seluruh lapisan masyarakat. Distribusi faktor
ekonomi itu justru terkonsentrasi pada beberapa perusahaan besar yang
menyebabkan ketahanan ekonomi kawasan ini sangat rentan.
Kondisi ini tampak dari dominasi sektor perkebunan oleh
PT Perkebunan Nusantara V yang 90 persen dari potensi perkebunan di Riau. Di
bidang pertambangan sekitar 56 persen didominasi pertambangan minyak dan gas
bumi melalui PT Caltex Pacific Indonesia. Monopoli sektor ekonomi oleh beberapa
perusahaan tertentu juga memicu terjadinya eksploitasi lingkungan yang tidak
terkendali dan menyebabkan peluang masyarakat mencapai kesejahteraan hidup
semakin kecil.
Hal ini dicontohkan dengan kerusakan lingkungan akut di
Sungai Siak, sungai terbesar di Riau. Kerusakan yang disebabkan derasnya limbah
bermuara di Sungai Siak, Pekanbaru, dari industri kelapa sawit, karet, limpahan
pulp, dan juga limbah rumah tangga selama lebih dari 10 tahun terakhir,
mengakibatkan 60 persen dari 103 jenis ikan di sungai ini dinyatakan musnah.
Kerusakan lingkungan Sungai Siak diperparah dengan adanya
kelebihan beban limpahan limbah rumah tangga. Sebagai daerah tujuan urbanisasi
karena dianggap menjanjikan lapangan pekerjaan, Kota Pekanbaru terpaksa
menampung arus warga Riau dari berbagai daerah. Bantaran di sepanjang sungai
ini sejak belasan tahun lalu telah menjadi salah satu pusat permukiman liar di
Pekanbaru.
"Pada tahun 1993 terdapat 103 jenis ikan di Sungai
Siak yang layak dikonsumsi, tapi di tahun ini hanya tersisa sekitar 40 jenis.
Itu pun dipastikan akan terus berkurang mengingat penanggulangan limbah masih
minim," kata Direktur Rona Lingkungan dari Universitas Riau, Tengku Ariful
Amri.
Kandungan limbah yang sangat tinggi, selain pengaruh
situasi alam, memunculkan bencana baru berupa kematian massal ikan secara rutin
setiap tahun. Hal ini sudah mulai tampak pada pertengahan tahun lalu. Juni 2004
hampir dua ton ikan ditemukan mati mengambang di Sungai Siak. Menurut Tengku
Ariful Amri, penyebab kematian massal ikan-ikan itu adalah minimnya kandungan
oksigen terlarut pada air Sungai Siak yang berada di bawah satu bagian per
milimeternya. Pemicunya adalah pergantian musim dari kemarau ke penghujan yang
menimbulkan luapan spontan yang berbaur dengan air penuh limbah hingga mendesak
ikatan oksigen dalam air.
Limpahan limbah dalam berbagai bentuk, khususnya lumpur
cair, menyebabkan air sungai sewarna tembaga, merah pekat. Bau tak sedap
menjadi suguhan setiap hari bagi warga sekitar. Namun, karena keterbatasan
pengetahuan dan ekonomi, warga terpaksa tetap menggunakan air sungai untuk
keperluan sehari-hari seperti mandi dan mencuci, di luar kebutuhan konsumsi.
Padahal, data kondisi Sungai Siak sepuluh tahun lalu
menunjukkan jenis-jenis ikan bernilai jual tinggi seperti baung, kerapu, juaro,
kelabau, ikan mas, dan udang menjadi tumpuan penghasilan warga sekitar. Mereka
terbiasa menggantungkan diri pada sungai yang menghidupi mereka (nafkah) dan
memenuhi kebutuhan akan air bersih.
Sedikitnya diperlukan 15 tahun untuk menangani kerusakan
lingkungan Sungai Siak. Itu pun hanya tahap awal dengan ketentuan penanganan
limbah secara efektif dan ramah lingkungan harus dimulai saat ini juga.
Pemulihan kondisi lingkungan secara
bertahap dan penetapan kebijakan perekonomian oleh pemerintah daerah yang
berorientasi kepada masyarakat diharapkan akan segera terealisasi. Jika hal ini tidak cepat dilakukan,
kemiskinan akan terus menghantui daerah petro dollar Riau itu. (neli triana)
Ironi Kemiskinan di Negeri Kaya
MULYADI (30) tergesa keluar dari kapal
feri yang membawanya dari Malaysia menuju Pelabuhan Bintan Sri Indrapura,
Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Tangan kanannya memegang bungkusan plastik warna merah,
sementara tangan kirinya menggandeng Yatin, istrinya, yang terus tertunduk
lesu. Pasangan ini termasuk rombongan tenaga kerja yang dideportasi dari negeri
jiran bersama ratusan lainnya, pertengahan Maret lalu.
SEJAK dua tahun lalu ia nekat menyusup ke Malaysia demi
mencari pekerjaan. Di kampungnya, Bagansiapiapi, kemiskinan selalu menghantui
keluarga ini. Mulyadi yang hanya menikmati bangku pendidikan hingga kelas tiga
sekolah dasar tidak memiliki akses terhadap pekerjaan kasar sekalipun. Di kota
kecil pesisir pantai ini, ia harus bersaing dengan 10.000 angkatan kerja lain.
Kota yang pernah menjadi penghasil ikan terbesar di dunia (1970-1980-an) ini
telah bangkrut akibat kerusakan lingkungan dan maraknya penjarahan sehingga tak
lagi mampu menjamin kesejahteraan masyarakatnya.
Mulyadi pun terjebak dalam kemiskinan struktural yang
sekaligus menjadi potret jutaan rakyat miskin lainnya, baik di Provinsi Riau
maupun di republik ini. Kekayaan Riau sebagai daerah penghasil minyak terbesar
di negeri ini tak mampu mendongkrak keluarga macam Mulyadi keluar dari garis
kemiskinan.
Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Provinsi
Riau 2004 mencatat, dari 4.543,584 penduduk, 22,19 persennya tergolong miskin.
Provinsi kaya ini sekaligus merupakan contoh daerah dengan problem kemiskinan
yang lengkap, mulai dari faktor sumber daya alam dan lingkungan, struktural,
serta kultural. Padahal, pemerintah pusat saja memperoleh Rp 68 triliun dari
hasil minyak dan gas di Riau. Dari dana ini, dikembalikan ke Riau Rp 8,9
triliun.
Sudah berpuluh tahun republik ini berjuang memerangi
kemiskinan. Tahun 1950 Sutan Takdir Alisyahbana pernah menulis dalam majalah
Siasat, "pemerintah tidak akan mampu memenuhi kebutuhan sandang, pangan,
dan perumahan bagi 70 juta rakyat Indonesia’’.
Dan berpuluh tahun kemudian terbukti, jumlah orang miskin
terus meningkat. Puncaknya terjadi tahun 1999 di mana 47,9 juta jiwa atau
sekitar 23,4 persen seketika masuk kategori miskin. Tahun 2003, Badan Pusat
Statistik mencatat tingkat kemiskinan 37,4 juta jiwa atau 17,4 persen yang
hampir sama dengan angka kemiskinan tahun 1984. Walaupun sudah menandatangani
Millenium Development Goals yang mengharuskan negeri ini menyiapkan strategi
pengentasan kemiskinan nasional, program yang dijalankan ini tidak pernah
efektif dan tidak berkelanjutan
Penyebabnya, masalah mendasar tidak pernah dihadapi
sehingga yang terjadi sebenarnya adalah pemiskinan. Pengentasan hanya dilihat
dari gejalanya dan bukan akar permasalahan dan sebab-sebabnya. Misalnya, program
beras untuk rakyat miskin, hanya mengatasi gejalanya, yakni kelaparan. Padahal,
kelaparan bukanlah penyebab kemiskinan.
KEMISKINAN bukan masalah kemampuan pribadi, tetapi
masalah kelembagaan. Masalah struktural yang melingkupi masyarakat miskin antara
lain ketidakadilan penguasaan alat produksi terutama tanah, kualitas SDM,
subsidi, akses memperoleh kredit, dan ketidakadilan pasar. Sementara tuntutan
Dana Moneter Internasional (IMF) dan donatur internasional adalah
restrukturisasi, privatisasi, kenaikan tarif utilitas publik, liberalisasi, dan
lain-lain yang tidak berpihak pada upaya penanggulangan kemiskinan.
"Pembenahan struktural yang dibutuhkan adalah
pembangunan berbasis masyarakat. Artinya, kebijakan yang diambil, kelembagaan
yang dibangun, teknologi yang dirakit, maupun yang dialihkan mesti didorong
oleh kebutuhan dan kemampuan rakyat," ujar Direktur Eksekutif Kemitraan
untuk Pembaruan Tata Pemerintahan HS Dillon.
Sebaliknya, kalangan elite sering menafikan kemampuan
rakyat kecil dan cenderung berpikir bahwa yang dibutuhkan adalah charity.
Sementara kelembagaan yang jadi penghambat tidak pernah dijebol. Pola
pembentukan modal misalnya, selalu berpusat di tengah kota, sebagian besar
melalui kredit bank yang disalurkan di perkotaan.
Karena itu, akumulasi modal hanya dapat dinikmati di
perkotaan. Padahal tidak mungkin dengan membangun gedung di kota nasib petani
membaik.
Barangkali, bukan "pengentasan" yang seharusnya
dipakai, tetapi menemukenali kebutuhan dan kemampuan rakyat. "Gunakan
konsep people driven, membangun orang berarti memberi kemampuan orang untuk
mengupayakan kesejahteraannya sendiri. Kapasitas ini ditentukan oleh kecukupan
pangan dan gizi, kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur," ujar Dillon.
Dalam pengolahan sumber daya alam, negeri ini perlu
belajar dari pengembangan karet dan kelapa sawit yang membuat Malaysia kaya.
Tenaga kerja kita justru menjadi buruh (ilegal) di perkebunan Malaysia. Dalam
hal itu bisa dikatakan, pemerintah yang memiskinkan rakyatnya itulah yang
membuat Malaysia kaya.
Mencerdaskan kehidupan bangsa tidak dapat dilakukan tanpa
membangun good governance (transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi).
Sebaliknya, yang membunuh bangsa ini adalah impunitas. Pada kasus BLBI,
orang-orang yang menyalahgunakan uang rakyat tetaplah menikmati hasil
jarahannya. Orang yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM juga tetap bisa
bersantai-santai. Impunitas alias pembiaran adalah masalah utama yang
menggerogoti energi untuk membangun bangsa dan negara ini.
PROGRAM pengentasan kemiskinan harus benar-benar
diarahkan langsung kepada masyarakat miskin, bukan melalui birokrasi. Salah
satu program yang efektif adalah Inpres Desa Tertinggal (IDT).
"Program IDT untuk 20.633 desa tepat sasaran.
Program ini lebih unggul dibanding kompensasi subsidi BBM karena langsung
diberikan ke desa-desa miskin, dengan alokasi Rp 20 juta per bulan. Dana
dikelola sendiri oleh orang miskin, sesuai kebutuhan mereka," ungkap Guru
Besar Fakultas Ekonomi UGM Prof Mubyarto.
Hanya orang miskin sendiri yang boleh mengambil dana itu
di bank-bank pedesaan dan tidak boleh ada campur tangan birokrat desa.
"Bagi orang miskin yang butuh modal untuk usaha,
mereka bisa menggunakannya, bagi nelayan yang butuh kapal, mereka bisa
membelinya. Orang miskin itu bukan orang bodoh, mereka telah berusaha keras,
berjuang mati-matian untuk bebas dari kemiskinan, jadi mereka tidak bisa
digurui karena mereka lebih tahu apa yang dibutuhkan," kata ekonom lulusan
Amerika itu.
Berbeda dengan IDT, kompensasi subsidi BBM dirancang oleh
pemerintah pusat berdasar analisa teoretis yang memukul rata kebutuhan orang
miskin. Menurut Mubyarto, ekonom yang mendukung kenaikan BBM hanya berpijak
pada efisiensi dan rasionalitas. Padahal ada aspek lain yang juga penting dalam
kebijakan ekonomi, yaitu keadilan, bukan keadilan bagi sekelompok konglomerat.
Dalam pandangan main stream (neoliberalis), solusi dari
kinerja pasar akan menyelesaikan masalah kemiskinan. Semisal sebuah supermarket
mampu menjual sabun dan sampo serta barang kebutuhan sehari-hari, akan
menghidupi para pekerja supermarket tersebut.
"Semakin banyak seseorang membeli sabun, pasta gigi,
dan kebutuhan sehari-hari akan mendorong peningkatan kesejahteraan para buruh
di industri yang barang-barangnya kita beli. Semakin kita mengejar self
interest akan mampu menghidupi pekerja kecil," ujar Herry B Priyono, Ketua
Pascasarjana STF Driyakara.
Namun, ada pandangan lain, yakni kesejahteraan para
pekerja kecil tergantung tingkat konsumsi masyarakat. Ini berarti persoalan
kemiskinan diselesaikan secara melingkar, tidak melalui kinerja lembaga besar
(dalam hal ini kinerja supermarket seperti dicontohkan di atas).
Pandangan pertama adalah mengatasi kemiskinan dengan
ketidaksengajaan-dampak tidak langsung-dan pandangan kedua adalah kesengajaan
untuk mengatasi kemiskinan.
Kalangan neoliberalis mendukung pandangan pertama, yakni
memberi stimulan bagi industri besar serta para konglomerat untuk membawa
trickle down effect. Mereka berasumsi, stimulan itu akan mendorong pertumbuhan
yang berdampak pada masyarakat kecil.
Sedangkan pandangan kedua melahirkan ekonomi terkomando
yang tidak populer bagi pasar bebas. Kini pandangan pertama menjadi main stream
untuk membangun perekonomian.
Itulah sebabnya, kebijakan kenaikan BBM mengacu pada
keseimbangan neraca negara-yang kinerjanya dianggap mampu membuat trickle down
effect-dan tidak merujuk pada kebutuhan riil orang miskin sebagai dasar
pertimbangan.
Di saat harga naik ternyata tidak ada desain pengalihan
kompensasi. Padahal seharusnya kebijakan itu berjalan simultan kalau memang
pemerintah memperhitungkan seluruh faktor, yakni keuangan negara dan kondisi
masyarakat miskin. (nel/ong/day/ris/dmu)
Sumba Barat yang Gawat dan "Melarat"
JALAN raya gelap menjelang subuh, di salah satu
tikungannya berjajaran puluhan lelaki dengan pandangan tajam mencoba menatap
tembus kaca jip. Barisan lelaki yang semuanya memegang parang panjang dan
tombak bukan mencegat atau mau merampok, mereka malah lagi mau menghadang
gerombongan pencuri ternak. Konon pada Sabtu (2/4) dini hari lalu itu ada
gerombolan maling mencuri 16 ekor kerbau sedang dalam perjalanan kaburnya ke
arah barat kota Waikabubak, Sumba Barat.
A>small 2small 0< itu sudah biasa, hari-hari
terjadi pencurian ternak. Bisa kerbau, sapi, kuda, atau apa saja yang bisa
dicuri. Selain itu, juga perampokan dan maling, bukan soal aneh lagi di
sini," kata Ande, sang pengemudi jip sewaan. Ande menuturkan, di sekitaran
Waikabubak ada satu kawasan yang warganya terkenal "berprofesi"
pencuri, juga perampok dan pelaku tindak kriminal lainnya.
Entah benar atau tidak, nama Sumba Barat nyaris identik
dengan kekerasan dan tumpah darah. Misalnya urusan ukuran batas tanah milik,
meski hanya berbeda sejengkal, bisa bikin nyawa terjungkal. Salah ucapan mulut
dan pengaruh isu sirik, ujung-ujungnya berakibat baku tebas dan bakar-bakaran
rumah. Bahkan, urusan adat mas kawin atau belis bisa-bisa memanjang dengan
akibat perseteruan mati-matian dua pihak keluarga besar. Belum lagi tawuran
massal yang mirip perang antarwarga, gara-gara rasa iri soal penerimaan calon
pegawai negeri sipil. Korbannya pun puluhan jiwa melayang, misalnya saat
kejadian 5 November 1998 di Waikabubak.
Bagi orang Sumba, hewan berwujud kerbau, kuda, babi, dan
sapi memang hewan gengsi dan "barang" adat. Maksudnya kerbau, kuda,
dan babi selalu muncul sebagai benda "bayar" dan barang pemberian
suatu pesta adat maupun upacara penting semisal perkawinan, kematian, dan
lainnya. Sebagai kabupaten bermotto "pada eweta manda elu" atau
"padang luas dan makmur", tanah Sumba Barat seluas 4.051,92 kilometer
persegi itu memang pernah terkenal sebagai tanah penghasil ternak unggulan,
khususnya kuda Sumba atau kuda sandel, serta sapi ongole putih atau brahman.
Selain ternaknya, kabupaten di barat Pulau Sumba ini juga
mengandalkan hasil kopra, kemiri, jagung, kacang ijo, biji kopi, vanili, dan
lainnya. "Baru- baru ini menghasilkan juga kutu lak untuk bahan pemoles
mebel mahal. Kalau padi dari sawah tadah hujan, hanya untuk dipakai
sendiri," ujar Marthen Hambabandju, petugas lapangan BirdLife Indonesia
yang memandu perjalanan keliling. "Soal ternak sejak sekitar tahun 1998
sampai sekarang makin lama makin sedikit populasinya. Pemilik dan pemelihara
ternak itu sudah makin takut karena pencurian hampir terjadi setiap hari."
Apa yang dikisahkan Marthen ada benarnya. Sebab, dalam
perjalanan timur-barat atau Waingapu-Waikabubak ulang-alik, hamparan padang
sabana Sumba yang membentang seperti tiada batas itu hanya sedikit kelihatan
kehidupan kerumunan ternak peliharaan. Paling-paling di beberapa lokasi dekat
pemukiman, ada keliaran kelompok kuda atau sapi dalam hitungan belasan ekor,
tidak 50-an ekor atau seratusan ekor macam tahun dulu-dulu.
DALAM suatu laporan otonomi Sumba Barat pernah tercantum
angka "ekspor" ternak selama tahun 1997-2001, antara lain tercatat
sekitar 1.000 ekor kerbau, 625 ekor sapi, dan 1.000 ekor kuda. Namun, kalau
diperhatikan grafiknya, angka pengiriman ternak keluar Sumba Barat itu
sebetulnya menukik turun. Misalnya, angka puncak ekspor kuda ke Nusa Tenggara
Barat dan Surabaya sampai jumlah 551 ekor pada tahun 1998, namun lalu turun
menjadi 109 ekor (1998) dan 51 ekor pada tahun 2001.
Itu sekadar contoh betapa obrolan soal ternak dan pencuri
ternak, sambil menunggu makan pagi di Desa Manurara, makin menarik dan bikin bingung
juga. Kini entah berapa angka "ekspor" ternak Sumba Barat, mengingat
kasus pencurian ternak makin menggila menurut kabar tuturan itu. "Sudah
dua malam ini kami jaga-jaga dan kurang tidur, kabarnya akan ada pencurian
kerbau," ujar Umbu Gauka Radjang, yang kepala desa.
"Jadi, orang kampung itu susah sekali. Dari pagi
sampai sore, urus padi atau kebun jagung dan kacang ijo, mumpung ada sisa
hujan. Lalu harus merawat kerbau, kuda, babi, sapi, dan ayam. Itu di luar
urusan rumah tangga pribadi dan keluarga besar. Sementara malam harus
berjaga-jaga dari pencurian, sambil menghitung hari betapa musim kering akan
tiba. Artinya, akan terjadi bencana serangan belalang kumbara, hama wereng,
kesulitan air bersih, kebakaran padang ilalang, dan pertikaian antarkampung,"
kata Kapala Desa Manurara itu.
Musim kemarau menjadi kata kunci. Dalam setahun suntuk,
paling tidak ada sembilan bulanan musim tanpa kucuran air hujan alam. Kabupaten
yang terbentuk sejak tahun 1958 di baratnya Pulau Sumba ini boleh dikata lebih
hijau dibandingkan dengan tetangganya, Sumba Timur. Namun, menurut opini orang
luar, Sumba Barat tetap dianggap lebih sangar karena kasus curas alias
pencurian dengan kekerasan, termasuk ngegarong kerbau sampai belasan dan
puluhan ekor sekaligus. Pencuri ternak atau kedu ranga di sana memang lihai dan
nekat.
Kondisi ini makin jeblok lagi karena sejak aksi zaman
reformasi, Sumba Barat pun ikut- ikutan berperan serta, khususnya dalam soal
otonomi daerah. Bayangkan, Sumba Barat itu tercatat sebagai kabupaten termiskin,
dengan 164.300 penduduk miskinnya atau sekitar 42 persen dari populasi. Namun,
kini daerah itu lagi ribut-ribut mau bikin kabupaten baru. Rakyat Sumba Barat
mau bikin dua kabupaten baru, Kabupaten Sumba Barat Daya dan Kabupaten Sumba
Tengah.
Kini, sementara banyak penduduk Sumba Barat hidupnya
terusik kekhawatiran, juga ketakutan tibanya musim kemarau yang penuh belelang,
wereng, kurang air, kebakaran padang rumput, kelaparan, serta ancaman
kemiskinan dan pupusnya rezeki. Aih kini segelintir kaum birokrat dan politisi
lokal malah mau bikin kabupaten baru di Sumba Barat. Gawat, bisa-bisa makin melarat. (RUDY
BADIL)
SPP Gratis untuk Rakyat Miskin
PROGRAM SPP gratis yang dilaksanakan di
Jawa Timur sebenarnya merupakan realisasi janji Imam Utomo saat mencalonkan
diri kembali sebagai gubernur Jatim periode 2004-2009. Program tersebut
dinamakan Program Subsidi Biaya Minimal Pendidikan, dikenal sebagai PSBMP.
Besaran biaya pendidikan minimal yang
diberikan untuk siswa SD atau MI adalah Rp 15.000. Untuk siswa SLTP atau MTs Rp
20.000. Tahun 2004 program tersebut baru menjangkau 19 dari 39 kabupaten/kota
yang ada di Jatim.
Tahun 2005, menurut Kepala Dinas
Pendidikan Provinsi Jatim Rasiyo yang ditemui, Kamis (7/4), ada penambahan
jumlah kabupaten/kota yang terlibat, yaitu menjadi 34 kabupaten/kota untuk
semua siswa. Ada lagi empat kabupaten/kota yang hanya memberikan PSBMP bagi
siswa dari keluarga miskin, yaitu Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten
Malang, dan Kabupaten Pasuruan.
"Tahun ini dana yang diperlukan
untuk memberikan bantuan kepada 34 kabupaten atau kota kepada semua siswa dan
empat kabupaten atau kota dari keluarga miskin itu Rp 732 miliar lebih. Dana
itu akan dipikul bersama," kata Rasiyo.
Kenyataannya, jumlah siswa kategori
miskin yang akan menerima dana kompensasi BBM pada tahun ini hanya 1,5 juta,
sekitar 1 juta siswa SD, 400.000 siswa SLTP, dan 100.000 siswa SLTA. Padahal, siswa yang termasuk kategori
miskin untuk tingkat SD mencapai 2,7 juta, SLTP 928.000, dan SLTA 200.000.
DI lapangan, seperti yang terjadi tahun lalu, besaran
angka yang diberikan kepada siswa sering kali lebih rendah dari biaya SPP.
Sebagai contoh, uang SPP SD di Bangkalan ada yang mencapai Rp 15.000.
Akibatnya, siswa masih tetap dipungut sejumlah biaya yang menjadi kekurangan
biaya SPP kendati sudah diberikan dana subsidi pendidikan.
Kendati, menurut Rasiyo, distribusi dana dilakukan setiap
bulan oleh pemprov, kenyataannya distribusi dana sering kali tersendat-sendat.
Kegiatan belajar-mengajar menjadi terhambat. Dana PSBMP didistribusikan lewat
Bank Jatim ke rekening sekolah.
Bentuk pemantauan yang dilakukan selama ini adalah dengan
membentuk pengawas sekolah. Dana yang langsung turun ke sekolah, menurut
Rasiyo, dapat diselewengkan.
"Yang paling potensial sebenarnya adalah pengawasan
masyarakat. Ini karena penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja
Sekolah dilakukan bersama-sama antara sekolah dan komite yang terdiri dari wali
murid," kata Rasiyo.
Pihaknya juga memiliki kotak pengaduan, Kotak Pos 33,
yang menerima segala bentuk laporan mengenai penyelewengan dana SPP gratis
tersebut. Setiap sekolah juga wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban
sebagai bentuk pengawasan rutin yang di tingkat SD dilakukan oleh cabang dinas,
sementara di tingkat SMP dilakukan oleh kabupaten/kota dengan nomor
pertanggungjawaban yang disahkan provinsi.
Namun, Kepala Dinas Pendidikan Kota
Surabaya Sahudi tidak bisa memberikan data jumlah siswa miskin di Surabaya. Yang jelas ada 103.566 siswa SD dan 41.951
siswa SLTP yang mendapat dana PSBMP. Ada 21.944 siswa SD dan 8.606 siswa SLTP
yang mendapat bantuan khusus murid. Besarnya Rp 10.000 untuk siswa SD/MI, Rp
20.000 untuk siswa SLTP/MTs, dan Rp 25.000 untuk siswa SLTA/SMK. Sahudi juga
tak bisa menjelaskan perbedaan siswa yang menerima PSBMP dan bantuan khusus
murid, padahal keduanya sama-sama miskin. (DOE/NIK)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar